Oleh Bella Danny Justice
Aku memandangi foto tersebut beberapa saat. “Hanna, i’ll keep you
on my mind... we will meet again someday. Goodbye...” Ucapku dengan memegang
erat selembar foto di tangan kanan lalu menempalkannya di dada.
“Hanna!!” mimpi itu lagi! sudah beberapa kali
aku bermimpi seperti itu.
{{{
“aku tidak tau mengenai Hanna semenjak
kepindahannya. Lagipula, kenapa kau baru mencarinya sekarang? Terakhir kali aku
bertemu Hanna 2 tahun yang lalu, ia bercerita kepadaku bahwa keluargamu tidak
menyetujui hubungan kalian. Karena itu kah kau meninggalkan Hanna ke Paris ?”
Celotehan Irina membuatku benar-benar merasa bersalah. Saat ini aku membutuhkan
dukungan, bukan nasehat-nasehat yang memojokkan posisiku. Pergi ke Paris juga
bukanlah keinginanku. Tetapi, jika aku tidak melakukannya aku akan lebih
melukai Hanna.
“Irina, aku datang kepadamu untuk menanyakan
keberadaan Hanna, bukan untuk mendengarkan ocehanmu! Kau tidak tau apa pun
mengenai aku, jadi jangan pernah berkata seolah-olah aku yang paling bersalah
dalam hal ini!” bentakku padanya. Irina menghampiriku, kemudian aku merasa
cairan bening mengalir dari atas membasahi kepalaku. Wanita itu menyiramku
dengan segelas air putih! “apa-apaan kau Irina?!”
Ia tersenyum sinis. Matanya menatapku tajam
penuh rasa kebencian. “kenapa kau hanya mencintainya Evan?! Aku menyukaimu
lebih dari Hanna!! Kalau wanita yang kau puja-puja itu memang mencintaimu,
mengapa dia pergi?! Mengapa dia tidak tetap diam menunggmu seperti yang aku
lakukan selama ini?! Aku bisa memberikanmu kasih sayang yang tidak pernah Hanna
berikan kepadamu Evan!” ucapan Irina membuatku bergidik. Wanita itu sungguh
menakutkan. Ia terlalu terobsesi terhadapku yang tidak pernah menyukainya
sedikitpun. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambil langkah seribu
meninggalkan rumahnya.
Tampaknya datang pada Irina adalah keputusan
yang salah. Tapi hanya dia satu-satunya yang tersisa. Semua orang yang dekat
atau pernah dekat dengan Hanna sudah aku kunjungi rumahnya satu per satu, namun
mereka juga tidak mengetahui keberadaan wanita yang sangat ku cintai itu.
Aku mulai putus asa. Aku tidak tau lagi harus
berbuat apa dan pergi kemana untuk mencarinya. Akhirnya aku memutuskan untuk
menenangkan diri ke tempat aku dan Hanna biasa berkunjung. Duduk di tepi pantai
dan menatap lautan luas adalah kegemaran kami. Namun rasanya kini tidak sama
seperti dulu. Sekarang Hanna tidak ada di sampingku, ia pergi entah kemana
tanpa meninggalkan jejak.
Langit biru yang cerah mulai berubah warna menjadi
oranye kekuningan. Tidak terasa aku sudah berjam-jam duduk di tepi pantai ini.
Aku seperti orang bodoh. Menunggu dan berharap Hanna akan datang dan tersenyum
kepadaku. Hanna, aku harus menjelaskan padamu alasan aku
meninggalkanmu dan memintamu untuk menunggu tanpa waktu yang jelas, tapi di
mana dirimu saat ini?
Ckrek!
Tiba-tiba saja aku melihat kilatan lampu flash.
Tampaknya seseorang telah mengambil fotoku dari belakang tanpa sepengetahuanku.
Aku membelokkan badanku dan ternyata dugaanku benar! “apa yang kau lakukan?!
Aku tidak suka seseorang memotretku tanpa izin!” wanita itu tidak memedulikanku
dan masih menatapi kamera DSLR-nya.
“ah, oh, maaf, aku tidak sengaja memotretmu.
Hanya saja kau terlihat begitu menyatu dengan objek sekitar. Kalau kau keberatan
kau boleh menghapusnya.” Ia perlahan menghampiriku. Ia menyodorkan kameranya ke
arahku. “ini, hapuslah sendiri fotomu.” Ujarnya.
Entah perasaan apa yang menghinggapiku. Aku
tidak suka seseorang mengambil fotoku tanpa izin terlebih dengan orang yang tidak
ku kenal. Tetapi kali ini berbeda. Aku ingin mengambil kamera itu dan
menghapusnya tapi aku tidak bisa. Hatiku berkata untuk tidak menghapusnya.
“tidak perlu. Kau bisa menyimpannya.” Kataku berusaha bersikap acuh.
“sungguh?! Terimakasih! Oya, siapa namamu?”
wanita itu tersenyum riang.
Tanpa sadar aku bersama dengannya sepanjang
sore. Kami berbincang-berbincang tentang banyak hal hingga larut. Dan selama
itu aku tidak memikirkan Hanna. Kehadiran wanita bernama Kelly yang mempunyai
hobby fotografi itu telah membuatku merasa semakin bersalah terhadap Hanna.
Bisa-bisanya aku bersama wanita lain dan melupakannya. Aku tidak tau,
sungguh... semua mengalir begitu saja. Hanna, aku harap kau tidak marah padaku
jika kau mengetahui ini. Aku hanya mencintaimu seorang.
{{{
“jadi kau pergi meninggalkannya karena terpaksa?
Kalau kau tetap bersama dengannya apa yang akan terjadi?” baru 2 hari aku
mengenal wanita ini, tapi aku merasa sangat dekat dengan dirinya. Kelly adalah
tipe yang periang. Setiap aku menatap matanya yang berkilat-kilat, aku merasa
ia memberikan aku semangat untuk tetap menjalani hidup walau perih.
“jika aku tetap bersamanya... ibu ku akan
melukainya dengan cara memperkenalkan Hanna dengan Christie.” Aku tak mampu
meneruskan ceritaku. Aku tertunduk berusaha tegar. Namun beberapa saat terdiam
aku kembali mengangkat kepalaku yang terasa berat dan menatap Kelly untuk
melanjutkan ceritaku. “Christie adalah wanita asal Paris yang di jodohkan
denganku. Semua itu adalah ulah ibu ku, maksudku ibu tiriku. Ia ingin
menyingkirkan aku dari rumah dan menguasai harta almarhum Papaku. 3 tahun aku
menetap disana sampai pada saat acara pertunanganku dan Christie
diselenggarakan, tiba-tiba ibu tiriku mengalami serangan jantung dan ia
meninggal di tempat. Aku berfikir bahwa ini adalah kesempatan bagiku untuk
kembali ke Indonesia dan menemui Hanna. Tapi aku masih belum dapat bertemu
dengannya. Aku takut sesuatu terjadi kepadanya.”
Wanita itu memegang bahuku dengan kedua
tangannya. Ia menarikku ke dalam pelukannya. “kau laki-laki yang sangat baik
Evan. Mendengar ceritamu aku jadi merasa iri terhadap Hanna. Ia beruntung
sekali mendapati dirimu. Aku akan membantu mencarinya.”
“terimakasih Kelly.” Ucapku pelan karena sedikit
terkejut.
“sebaiknya kita pulang sekarang, langit sudah
gelap. Bye Evan.” Lagi –lagi gadis itu memamerkan senyum lebarnya yang indah.
Aku seperti terhipnotis olehnya. Aku tidak boleh begini. Aku harus sadar dan
memikirkan Hanna.
Langkah kakiknya semakin menjauh, sosoknya pun
samar-samar tak terlihat lagi oleh kedua mataku yang mempunyai minus 2. Kini
hanya aku yang berada di tepi pantai ini. Ketika aku bersiap pergi dari sana
tiba-tiba terdengar suara seperti bisikan angin:
“Evan, selamat tinggal... aku harap kau bahagia bersama dengannya.
Terimakasih untuk semua cinta yang pernah kau berikan.”
Suara itu lembut dan sangat pelan. Tetapi aku
masih bisa mendengarnya dengan jelas. Aku rasa ini hanya halusinasiku saja
karena belakangan ini aku selalu berkunjung ke tempat aku dan Hanna biasa
bersama. Aku begitu rindu terhadapnya sehingga aku sampai mendengar suara-suara
aneh di telingaku.
Jam menunjukkan angka 8 dan aku langsung melesat
ke parkiran mobil dan menginjak gas untuk pergi dari tempat itu. Di tengah
perjalanan aku teringat kembali akan semacam suara atau bisikan di telingaku
tadi saat di pantai. Hanna, dimana dirimu? Aku rasa
aku sedang frustasi sampai-sampai mengira suara itu adalah suaramu.
Ciiiittttttt...
Hampir saja aku menabrak wanita tersebut!
Untunglah aku segera menginjak pedal rem. Ketidakkonsentrasianku ini cukup
untuk menyeretku ke penjara. Aku melepas seat belt dan berniat menghampirinya.
Tetapi ketika aku keluar mobil aku tidak melihat siapapun. Kemana wanita itu pergi? Tanyaku
dalam hati penasaran.
“Hei! Evan! Apa yang kau lakukan di jalanan sepi
seperti ini?” seruan itu.. aku rasa aku mengenal suara itu.
“K- Kelly?” kataku sedikit gugup tak percaya.
Suatu kebetulan yang luar biasa menurutku.
Selangkah, dua langah, tiga langakah ia berjalan
mendekatiku. Sekarang ia tepat di depan wajahku. Kelly terdiam tertunduk
menatap aspal jalanan beberapa saat, lalu kemudian dengan secepat kilat ia
merangkulku, ia merangkulku dengan erat seperti orang yang sudah sangat lama
tidak bertemu dan meluapkan kerinduannya yang membuncah. Dan pelukannya kali
ini berbeda jauh dengan yang sebelumnya.
“h-hei, Kelly, ada apa denganmu?” tanyaku agak
terbata-bata karena kelakuan wanita satu ini. Entah mengapa aku merasa gugup,
aku tidak nyaman ia memelukku. Aku merasakan hal yang aneh dan di lain sisi aku
juga tidak enak dengan Hanna.
“jangan merasa tidak enak. Aku hanya ingin
memelukmu sebentar saja Evan.” Nadanya begitu lembut dan membuat aku luluh. Aku
membalas pelukan Kelly dan membiarkan ia juga memelukku.
{{{
“Evan, kemana lagi kita harus mencari Hanna?
Kita sudah mengunjungi rumah tempat ia tinggal dulu dan menanyakan kepada
tetangga sekitar namun tidak ada yang tahu dimana keberadaan ia atau
keluarganya saat ini.” aku mendengar suara Kelly yang sedang menyetir mobil.
Aku tau ia bertanya padaku. Tetapi aku tidak menjawabnya. Aku diam membisu
karena aku masih teringat akan kejadian semalam. Entahlah, tetapi dari nada
bicara Kelly ia seperti tidak pernah melakukan hal itu.
“Aku tau Evan, kau ingin pergi ke pantai itu
lagi dan menghabiskan waktu disana saja, bukan? Baiklah, aku akan menemanimu.”
Ujarnya.
Sesampainya kami disana, seperti hari-hari yang
lalu aku dan Kelly duduk di atas pasir putih tepi pantai tersebut dan
memandangi lautan biru luas yang indah serta gumpalan awan cerah yang berbentuk
seperti gulali.
“Hanna, ah maksudku Kelly... boleh aku tau
dimana kau kemarin jam 8 malam?” senatural mungkin aku bertanya pada Kelly agar
ia tidak curiga. Entah mengapa aku ingin menanyakan hal ini.
“ah, jam 8 kalau tidak salah aku menelfonmu tetapi
handphone-mu sepertinya tidak aktif. Memangnya ada apa Evan?” wanita itu
menjawab pertanyaanku sambil memotret objek-objek di sekitarnya.
Apa?! Lalu siapa yang memelukku kemarin malam?! “t-tidak, tidak ada apa-apa.” ucapku berharap
Kelly tidak menyadari keterkejutanku.
Ia berdiri dan menghempaskan pasir dari celana
panjang. “Evan, tolong pegang dulu kameraku, aku mau ke kamar kecil.”
“baiklah.” Kataku sekenannya.
Melihat kamera itu hatiku seperti tertarik untuk
melihat foto-foto yang ada di dalamnya. Aku mulai menelusuri satu persatu foto
demi foto yang diambil oleh Kelly. Dia memang wanita yang berbakat. Semua hasil
potretannya bagiku begitu memukau.
“hei, kau sedang apa? melihat-lihat foto ya?”
sahut seseorang yang sudah pasti Kelly. Rupanya ia kembali dalam waktu yang
sangat singkat, padahal aku belum menemukan fotoku karena terlalu banyak
tertimpa oleh foto lainnya.
Aku mengulurkan kamera itu padanya. “ya, hanya
sekedar melihat-lihat. Kau memang fotografer yang handal menurutku.”
“haha Evan kau pandai sekali memuji. Tapi aku
masih amatir dan harus banyak belajar lagi.” Ia tertawa lepas dan tersenyum
lalu kembali mengambil gambar di sekitarnya.
“Evan, bagaimana kalau kita foto bersama? Kau
mau tidak?” tanya gadis itu dengan mimik yang berharap aku akan mengiyakannya.
“baiklah, terserah kau saja.”
Ckrek!
“waaah Evan, lihat!” Kelly menunjukan hasil foto
di layar LCD kamera itu kepadaku. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke wajahku.
“kau tampan sekali, kalau teman-temanku melihatnya mereka pasti akan berebutan
untuk berkenalan denganmu haha.”
“sepertinya virusku tertular. Sekarang kau jadi
pandai memuji Kelly.” Sindirku diiringi sedikit gelak tawa.
“mungkin saja haha.” Wanita itu tertawa renyah
sampai matanya benar-benar menyipit.
Bersama dengannya aku merasa hal yang berbeda.
Apa ini adalah rencana Tuhan untukku? Apa aku harus melupakan Hanna dan memulai
kehidupan yang baru dengan orang yang baru juga? Entahlah, sempat terlintas
difikiranku seperti itu tetapi aku belum berani mengambil tindakan nyata. Aku
takut keputusan yang ku pilih malah akan memperburuk keadaan.
Bagaimana jika ketika aku sudah memilih Kelly,
tiba-tiba Hanna muncul dan kembali? Aku tidak tau harus menjelaskan padanya
mulai dari mana. Aku tidak ingin melukai hatinya lagi.
“Evan, aku akan bahagia jika kau bersama Kelly. Dia wanita yang
baik. Kau tidak perlu ragu.”
Suara bisikan itu lagi! “Kelly,
kau dengar suara itu?” tanyaku padanya seperti orang paranoid.
“suara apa Evan? Aku tidak mendengar apa pun,
dan tidak ada suara lain selain desiran ombak di sini.”
“sudahlah, lupakan saja.” Ini membuatku gila.
Suara itu kembali muncul dan membuat bulu kudukku berdiri. Apa maksud semua
ini??
{{{
Nada dering handphoneku berbunyi cukup keras dan
berhasil membangunkanku yang masih terlelap. Aku menekan tombol ‘jawab’ tanpa
melihat siapa yang menelfon karena mataku menempel dan aku kesulitan
membukanya.
“hallo..” sapaku dengan suara berat dan sedikit
serak khas orang bangun tidur.
“astaga Evan, kau baru bangun tidur? Ini sudah
jam 8, kau tau?!” omelan dengan intonasi yang cukup tinggi serta suara yang
agak cempreng ini tidak salah lagi adalah milik Kelly.
“ah Kelly, berhenti mengomel. Telingaku sakit,
kau tau? Ada apa menelfon pagi-pagi? Tidak biasanya kau begini.” Akhirnya
setelah usaha yang cukup keras mataku bisa terbuka dan aku langsung melangkah
ke kamar mandi untuk mencuci muka sambil masih menempelkan benda kecil itu di
telingaku.
“aku sedang di tempat cetak foto. Aku ingin
mencuci fotomu yang pertama kali aku ambil dan foto kita kemarin.” Ucapnya
terkekeh. “setelah selesai aku akan kerumahmu untuk memberikannya. Jadi aku
harap kau segera mandi karena aku tidak mau kebauan ketika berada didekatmu
nanti haha.”
“ok ok, baiklah. Aku tunggu.”
{{{
“Evan, Kelly is here.” Aunty Clarice memasuki
kamarku, ia adalah wanita asal Australia, ia juga istri dari kakakku
satu-satunya yaitu James. Tetapi berhubung kakakku sedang mengurus cabang
perusahaan keluarga di Jerman, ia meninggalkan istrinya dirumah bersama
denganku dan sekaligus untuk menemaniku.
Ia berjalan ke arahku yang sedang duduk di atas
kasur sambil membaca buku. “i’m happy you already moved on
from Hanna.”
“i’ve never tried to do that Aunty. Hanna will always be in my
mind.” Ujarku menutup buku itu
lalu turun ke lantai bawah untuk menemui Kelly.
“Don’t deny Evan. Don’t ignore your heart cause your mind won’t be
able to feel it.” Seru Aunty
Clarice.
Perkataan Aunty-ku memang benar. Tetapi saat ini
aku belum tau apa yang aku rasakan dan apa yang harus kulakukan serta kuputuskan.
“hei Kelly, sudah lama menunggu?” sahutku dari
lantas atas lalu menuruni anak tangga satu persatu.
“oh h-hai Evan, tidak juga.” Suara Kelly
terdengar gugup dan aneh. Seperti ada seseuatu yang ia sembunyikan dariku.
Aku baru ingat bahwa ia kemari karena ingin
memberikan hasil fotonya. Aku pun menagih janji itu. “oya, boleh aku lihat foto
yang sudah kau cetak? Pasti hasilnya sangat bagus.” Ucapku dengan menorehkan
senyum kepadanya.
“ah i-itu.. iya hampir saja aku lupa.” Kelly
langsung merogoh-rogoh ke dalam tas warna coklatnya mencari benda tersebut,
tetapi tampaknya foto itu tidak ada. “mmm.. maaf Evan, aku rasa aku
meninggalkannya di tempat cuci foto tadi. Aku akan mengambilnya dan segera
kembali.” Aku bisa melihat dari bahasa tubuh Kelly yang canggung dan bersikap
tidak seperti biasanya. Aku tau ada sesuatu yang terjadi dan ia tidak ingin aku
mengetahuinya.
“tidak perlu Kelly!” pekikku cukup keras karena
wanita itu sudah berada di ambang pintu dan bersiap pergi. “sini, duduklah
dulu.” Kataku sambil menepuk-nepuk sofa.
Ia berjalan kaku menghampiriku dan duduk di
sampingku. Aku memperhatikan air mukanya yang gusar dan agak pucat. “Kelly,
tatap aku!” perintahku. Dengan terpaksa ia memutar kepalanya 90© dan berusaha
memandangku. “Ada apa sebenarnya? Apa yang kau sembunyikan dariku?” tanyaku
mendalam.
Gadis itu mengalihkan tatapannya dan tertunduk.
Aku bisa mendengar dengan jelas bahwa ia sekarang tengah menangis sesenggukan.
“aku berbohong Evan. Ambilah di dalam tasku dan lihatlah sendiri.”
Aku mengikuti perkataannya. Tapi untuk apa Kelly
berbohong? Ini hanyalah foto. Batinku terus bertanya seperti itu sampai
akhirnya aku mendapatkan benda yang kucari.
Terdapat 2 lembar foto dan foto yang pertama
kulihat adalah foto aku dan Kelly saat di pantai kemarin. Kelly terlihat cantik
dan begitu ceria di foto tersebut. Hal apa yang harus ia khawatirkan
sampai-sampai ia berbohong padaku? Aneh sekali pikirku.
Foto selanjutnya... mungkin ini adalah alasan
Kelly bersikap begitu. Aku tidak percaya melihatnya. Aku benar-benar shock.
Jantungku berhenti berdetak dan seluruh syarafku mati selama beberapa saat. Aku
tidak tau apakah ini editan semata atau foto asli sungguhan.
“Kelly, tolong jelaskan padaku. Kau yang
mengedit fotoku, iya kan Kelly?!” aku menaikkan nada bicaraku terhadapnya
karena foto ini memang sulit dipercaya.
“tidak Evan. Aku tidak mengeditnya. Aku juga
tidak tau kenapa hasilnya bisa seperti itu.” suara parau dan tangisnya yang tak
henti membuatku merasa bersalah. Aku telah menuduhnya melakukan itu. Aku telah
bersikap kelewatan kepada wanita ini.
Aku memeluknya dalam sekejap. Aku tak mengerti
mengapa aku bertindak seperti ini. Mungkin perkataan Aunty Clarice benar. Aku
tidak boleh menyangkalnya. Aku tidak boleh mengabaikan hatiku karena pikiranku
tak akan mampu merasakan kebenaran yang dirasakan oleh hatiku.
“maafkan aku Kelly. Aku tidak bermaksud
menuduhmu. Aku... aku hanya... ini sulit sekali dipercaya. Tapi aku harus
mengatakan ini padamu.” Aku melepaskan pelukanku perlahan lalu menggengam
tangannya dan memandang matanya lekat-lekat. “aku menyukaimu Kelly. Sungguh.
Ini nyata perasaanku yang sebenarnya. Kau pasti meragukannya, tapi aku mohon
kali ini percayalah. Sejak pertama berkenalan denganmu aku mulai merasa
bayangan Hanna memudar dan perlahan kau menggantikan posisinya dihatiku.
Senyumanmu memberikanku semangat. Tawamu telah merubah aku yang dulu selalu
menyalahkan diri sendiri karena meninggalkan Hanna. Aku jujur dengan ucapanku
Kelly.”
Ia berhenti menangis dan menatapku. Tatapan
matanya tampak sedang mencari-cari kejujuran didalam mataku. Tiba-tiba saja
wanita itu merangkulku erat sekali.
“akhirnya kau bisa mencintai orang lain. Aku
sangat bahagia Evan. Maaf aku menggunakan tubuh Kelly untuk berbicara denganmu.
Kau begitu serasi dengannya. Satu saja permintaanku Evan, aku ingin kau dan
Kelly datang ke tempatku.” Suara itu! Aku ingat sekarang. Ini adalah suara
Hanna!
“tidak, Hanna, jangan pergi!” aku semakin
mempererat pelukanku.
“Evan, aku tidak punya banyak waktu. Aku harus
pergi setelah aku dapat berbicara denganmu. Terimakasih untuk semua cinta yang
pernah kau berikan. Kau adalah pria yang istimewa bagiku.” Aku meneteskan air
mata mendengar perkataan Hanna. Bagaimana bisa ia meninggal? Apa yang telah
terjadi?
“tunggu! Hanna, apa yang telah terjadi padamu?”
dengan cepat aku melepaskan dekapanku dari tubuh Kelly yang berisikan roh
Hanna.
“a-aku... meminta keluargaku untuk pindah kuliah
ke Bali. Aku berharap bisa melupakanmu di sana. Tetapi aku salah, aku justru
semakin merindukanmu yang tak kunjung datang. Nilaiku juga menurun drastis, dan
aku tidak ada orang yang mau dekat denganku karena mereka berfikir aku wanita
yang aneh dan selalu menyendiri. Mereka menjauhi aku dan memandangku sinis.
Karena aku tidak tahan akan cobaan ini, akhirnya aku menjatuhkan diri dari
lantai 5 gedung asramaku. Evan, aku malu sebenarnya menceritakannya padamu. Aku
wanita yang lemah, tapi kau harus tau. Aku tidak ingin membuatmu terus
bertanya-tanya dan mencari aku yang bahkan sudah tiada.” Kelly, melalui dirimu
aku dapat melihat tatapan sedih Hanna. Aku bisa merasakannya.
“Hanna, kemana aku harus pergi?” tanyaku polos.
“aku akan menyampaikannya pada Kelly. Aku harus
pergi Evan. I love you, goobye...” setelah mengucapkan kalimat terakhirnya
tubuh Kelly kemudian terkulai lemas, pingsan di atas sofa.
{{{
Jumat, 11 November 2011 - Denpasar, Bali
Aku dan Kelly saat ini berada di tempat, di mana
Hanna dimakamkan. Ternyata setelah meninggalnya Hanna, orangtuanya kembali ke
kampung halamannya di Manado. Aku tak dapat bersua. Aku masih belum menyangka
nisan di hadapanku ini benar-benar miliknya. Meskipun tertulis jelas dan
lengkap nama “Hanna Isabel Maria” namun di dalam hatiku, aku berharap ini
adalah Hanna Isabel Maria yang lain, bukan Hanna yang ku cintai.
“Evan, cepat letakkan bunga melati putih itu.
Hanna pasti sudah menunggu momen ini. Aku yakin dia bahagia di atas sana.”ujar
Kelly yang berdiri di sampingku yang sudah lebih dahulu menaruh bunga di atas
makam Hanna.
Tanganku gemetar ketika akan menaruh bunga
tersebut. Aku seakan tak mampu menghadapi kenyataan ini. Tetapi Kelly
menggengam tanganku. Ia membantuku dengan senyum ikhlasnya. Tak terlihat sama
sekali kecemburuan di wajahnya walau ia tau masih ada sebagian dari Hanna yang
tertinggal di dalam diriku.
Aku mengeluarkan selembar foto dari dompetku dan
menaruhnya di dekat bunga melati putih itu. Ya, foto yang ku taruh adalah hasil
jepretan Kelly yang membuatku tersentak kaget. Foto itu adalah fotoku saat
pertama kali aku dan Kelly bertemu. Ia memotretku dari belakang, dan ternyata
terdapat sosok bayangan Hanna yang cukup jelas di dalam foto tersebut setelah
dicetak. Ia terlihat sedang duduk di sampingku, dan yang membuatku lebih
terkejut yaitu ia tampak seperti mencium pipiku. Saat pertama kali melihatnya
aku meneteskan air mata karena begitu tak percaya. Namun, biar bagaimanapun itu
adalah kenyataannya.
“Kelly, tetaplah bersamaku dan jangan pernah
meninggalkan aku. Karena apa pun yang terjadi aku tidak akan pergi darimu.” aku
memeluknya dengan erat. Aku tidak akan lagi menyia-nyiakan wanita yang berharga
dalam hidupku. Cukup sekali aku berbuat kesalahan dan tak akan aku
mengulanginya.
“Evan, thank you for loving me.” Bisiknya di
telingaku.
Hanna, you never really left. I’ll always remember you. I can’t
forget you or erase you from my heart. I’m able to get my happiness with Kelly,
and i hope you’re smiling seeing us from up there.
I will watch you through these nights..
Rest your head and go to sleep..
This is not our farewell..
(Within Temptation – Our Farewell)
THE END